Permusuhan Tak Terucap Terhadap Orang Tua di Ruang Publik

0
8

Sebuah video viral baru-baru ini memicu kembali perdebatan yang sudah lazim: haruskah anak-anak terlihat – dan terdengar – di depan umum? Klip tersebut, yang awalnya dibagikan pada tahun 2024 dan muncul kembali minggu ini, menunjukkan seorang wanita yang mencaci-maki sebuah kelompok karena membawa bayi ke bar di Austin, Texas. Meskipun situasi ini mereda berkat dukungan dari penonton dan staf, hal ini menyoroti masalah yang lebih luas: stigma yang sangat umum terhadap orang tua yang berada di ruang bersama.

Mengapa Ini Penting: Melampaui Momen Viral

Ini bukan hanya tentang satu kejadian saja. Reaksi negatif yang ditujukan kepada orang tua yang berani membawa anak mereka ke restoran, toko, atau bahkan transportasi umum mengungkapkan adanya ketidaknyamanan budaya yang lebih dalam terhadap realitas kehidupan keluarga. Sebuah survei pada tahun 2022 menemukan bahwa lebih dari separuh orang Amerika (55%) “terganggu” oleh anak-anak di restoran, dan banyak yang lebih memilih hewan peliharaan daripada mereka. Permusuhan ini tidak hanya mengganggu; hal ini secara aktif mengisolasi orang tua, sehingga berkontribusi terhadap meningkatnya tingkat kelelahan, kesepian, dan masalah kesehatan mental. Di dunia yang sudah bergulat dengan kesenjangan sosial yang meluas, semakin mengasingkan sebagian besar penduduk adalah hal yang kontraproduktif.

Akar Masalah: Individualisme dan Kurangnya Komunitas

Kebencian terhadap keluarga di depan umum sebagian besar didorong oleh faktor budaya, khususnya kecenderungan hiper-individualistik di masyarakat seperti Amerika Serikat. Tidak seperti banyak budaya di mana keluarga besar tinggal berdekatan dan pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama, orang tua di Amerika sering kali kekurangan sistem dukungan penting ini. Hal ini memaksa mereka berada dalam situasi di mana menjelajahi ruang publik bersama anak-anak terasa seperti negosiasi terus-menerus, tur permintaan maaf, atau pertarungan melawan penilaian.

Kate Gawlik, seorang profesor klinis di The Ohio State University, menyatakan bahwa negara-negara yang “individualistis” lebih cenderung menunjukkan sikap eksklusif ini. Kurangnya komunitas “desa” yang kuat menyebabkan orang yang bukan orang tua sering kali kurang memahami perilaku normal masa kanak-kanak, sementara orang tua merasa tertekan untuk terlebih dahulu meminta maaf atas keberadaan anak mereka. Hal ini menciptakan siklus kecemasan dan isolasi yang terus berlanjut.

Konsekuensi: Melampaui Kelelahan Orang Tua

Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh orang tua saja. Pengucilan anak-anak di ruang publik memperkuat gagasan bahwa mereka tidak termasuk dalam masyarakat arus utama, sehingga secara efektif membatasi sosialisasi dan perkembangan mereka. Anak-anak yang tidak pernah menjelajahi lingkungan bersama akan kesulitan mempelajari keterampilan sosial yang penting – bagaimana berperilaku di restoran, naik transportasi umum, atau sekadar hidup berdampingan dengan orang lain. Ini bukan hanya soal kenyamanan; ini tentang membesarkan generasi penerus warga negara yang berempati dan dapat menyesuaikan diri dengan baik.

Menuju Masa Depan yang Lebih Inklusif: Mengubah Budaya

Solusinya bukan dengan melarang anak-anak memasuki ruang publik (hal ini tidak realistis dan berbahaya). Sebaliknya, ini adalah pergeseran budaya menuju penerimaan dan pemahaman yang lebih besar. Organisasi, bisnis, dan perancang ruang publik harus memprioritaskan akomodasi yang ramah keluarga – meja ganti, toilet yang mudah diakses, dan ruang yang tidak menghukum orang tua karena kehadirannya.

Lebih penting lagi, individu perlu memberikan rahmat dan empati. Mereka yang bukan orang tua harus menyadari bahwa tantrum sering terjadi, bayi menangis, dan proses pengasuhan anak pada dasarnya berantakan. Pada gilirannya, orang tua dapat mengundang orang lain ke dalam dunia mereka untuk mengungkap realitas pengasuhan anak.

Pada akhirnya, mengecualikan keluarga dari kehidupan publik tidak menyelesaikan masalah; itu memperburuknya. Masyarakat yang secara aktif menyambut anak-anak – baik kebisingan maupun sebagainya – adalah masyarakat yang lebih inklusif, penuh kasih sayang, dan pada akhirnya lebih kuat.